Image: www.cafepress.com |
Seperti biasa, tiba di kantor, saya langsung menuju pantry. Saya bermaksud mengisi wadah-wadah minuman saya dengan air dari dispenser. Namun, di sana, seorang rekan mengabarkan, "Air habis."
Saya melirik 4 galon air yang masih tersegel, yang berjejer di dinding. Bersama saya, ada tiga rekan laki-laki juga berada di sana. Pria-pria muda bertubuh besar. Namun, tak seorang pun dari para pria itu yang menunjukkan tanda-tanda hendak mengangkat galon yang masih penuh itu.
"Gantiin, dong," celetuk saya akhirnya kepada salah seorang rekan.
Bibirnya membentuk senyuman. "Aduh, saya enggak kuat ngangkat."
"Oh iya, ya. Rambut Mas kan enggak ada. Jadi enggak punya kekuatan," canda saya.
"Betul. Kayak Simson."
Tak mau menyerah, saya mencoba lagi "membujuk". "Eh, enggak, ding. Justru kebalikan dari Simson. Karena enggak punya rambut, malah kuat."
Ia kembali tersenyum, kemudian berlalu sambil membawa gelas kosongnya kembali ke ruangan.
Ya sudah, sabar dulu deh menunggu, batin saya. Sambil kembali ke ruangan, saya melihat di kejauhan, office boy kami sedang sibuk mem-vakuum ruangan bos.
Lima menit kemudian, dari jendela yang memisahkan ruangan kerja dengan ruang pantry, saya melihat seorang rekan pria lainnya membuka segel galon, kemudian meletakkan galon bervolume 19 liter air itu ke atas dispenser.
Saya pun bergegas menyusul.
"Kamu memang rekan teladan," puji saya tulus. "Tadi saya si anu* pasang galon baru, dia bilang, 'enggak kuat'."
"Di sini kan biasa. Merasa terhina sekali kalau harus mengganti galon air. Harga diri tinggi padahal digaji rendah." Komentarnya tajam dan pedas.
Saya tercenung. Pendapatnya benar. Kita kerap merasa terhina jika harus mengerjakan tugas orang lain, orang yang secara jabatan tidak "sejajar" dengan kita.
Di kantor lama maupun di kantor baru, saya sering melihat peristiwa serupa. Di kantor lama saya, mencuci peralatan makan karyawan adalah salah satu tugas office boy. Di kantor baru saya, tidak demikian. Namun, pada praktiknya, seringkali karyawan membiarkan piring, gelas, atau sendoknya yang kotor, tergeletak di bak cuci piring begitu saja, sekalipun mereka meminjam peralatan itu. Tindakan yang mencerminkan kesombongan diri. Menganggap status dan jabatan dirinya lebih tinggi dari sang office boy.
Saya jadi ingat satu cerita di Alkitab. Cerita tentang Yesus yang membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13:1-20). Dalam tradisi Yahudi, jika seseorang mengundang tamu ke rumahnya, maka sang tuan rumah akan meminta seorang pelayan (nonYahudi) membasuh kaki tamu tersebut. Sebab, kaki para tamu sudah kotor terkena debu saat menempuh perjalanan. Pelayanlah yang mendapat tugas tersebut, bukan sang tuan rumah. Informasi lengkapnya, lihat di sini. Namun, Yesus mendobrak tradisi itu. Ia, sang Guru dan Tuhan, membasuh kaki murid-murid-Nya. Yesus tidak merasa terhina membasuh kaki para murid-Nya. Sebaliknya, Ia menunjukkan sikap yang rendah hati, melayani, dan mengasihi.
Melayani memang membutuhkan kerendahan hati. Bersediakah kita melayani meskipun ada boy office di kantor, baby sitter/nanny, atau asisten rumah tangga di rumah?
*nama saya samarkan demi menjaga nama baik sang rekan.
Posting Komentar
Posting Komentar