Image: qbq.com |
Dulu, seseorang dianggap berprestasi jika nilai-nilai ulangan/ujiannya bagus, masuk kategori peringkat 5 besar di kelas, atau menjadi juara umum di sekolah. Singkat kata, nilai akademisnya memuaskan.
Kenyataan membuktikan, prestasi akademis dan kemampuan intelektual yang tinggi tidaklah cukup. Tanpa karakter yang baik, intelegensi lebih banyak mendatangkan keburukan daripada kebaikan.
Kini, kita banyak mendapati berita-berita di media massa tentang orang-orangapa pun profesi merekayang hanya mementingkan diri sendiri dan mencari keuntungan pribadi dengan menggunakan segala cara. Politisi yang korupsi dan merugikan negara. Dokter yang malpraktik, yang mencoreng nama baik profesi dan RS tempat dia bekerja. Pemborong bangunan yang membangun gedung dengan menurunkan kualitas bahan bangunan sehingga ujung-ujungnya bangunan cepat rusak atau ambruk. Pedagang yang menaikkan terlebih dulu harga jualannya dua kali lipat baru memberi diskon 50%. Direktur yang otoriter dan selalu beranggapan dirinyalah yang paling benar dan paling tahu tentang segala hal sehingga suasana kerja jadi tidak kondusif. Presiden yang diktator dan tidak mensejahterakan bangsa.
Pertanyaannya, siapakah yang bertanggung jawab memberikan pendidikan karakter? Di manakah orang harus memupuk kepribadiannya agar tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, peduli sesama, menjunjung tinggi kebenaran, jujur, disiplin, ulet, dan karakter baik lainnya? Jawabannya: lingkungan rumah, lingkungan keagamaan, dan lingkungan akademis.
Dunia pendidikan seyogianya selalu memasukkan unsur pendidikan karakter dalam kegiatan belajar mengajarnya. Bahkan, sejak dini. Sebab, dalam dunia pekerjaan, orang tidak lagi hanya berurusan dengan dirinya, tetapi dengan orang lain, apa pun bidang pekerjaannya. Ada proses yang menuntut tanggung jawab pribadi, tanggung jawab secara tim dan tanggung jawab terhadap orang lain.
Pembentukan karakter yang akan dibawa seumur hidup, ini, bukanlah sesuatu yang instan. Perlu proses yang panjang.
Di tingkat TK, anak misalnya, bisa belajar berhitung sambil berbagi. Anak punya 1 buah pisang. Salah satu temannya juga ingin makan pisang. Maka, guru bisa mengajarkan anak untuk membagi dua pisang tersebut.
Di tingkat SD, siswa tidak semata-mata diajarkan bahwa 2+2 = 4 atau 5x2 = 10. Tetapi, siswa diajak mempraktikkan formula tersebut dalam praktik keseharian. Di sekolah bisa dibuat kantin kejujuran yang tidak ada penjaganya. Siswa bisa belajar kejujuran. Jika makan 2 potong pisang goreng seharga Rp1000, maka siswa harus membayar Rp2.000. Jika membayar dengan uang Rp5.000, maka siswa mengambil kembalian sebesar Rp3.000. Tidak lebih dan tidak kurang.
Contoh lainnya, pemberian penghargaan kepada siswa teladan. Apakah yang berhak mendapat penghargaan hanyalah siswa yang berprestasi akademis? Apakah sekolah pernah memberikan predikat siswa teladan kepada anak didiknya yang misalnya, suka menolong orang lain (dalam hal positif tentunya) atau antimenyontek?
Dunia pendidikan harus bisa menyiapkan karakter anak-anak didiknya sehingga kelak menjadi pribadi-pribadi yang berkepribadian matang dalam menjalankan profesi pilihannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kelak saat jadi penulis, seseoarng bisa mempertanggungjawabkan isi tulisannya kepada pembaca. Tulisannya berdampak positif terhadap pembacanya. Dan dalam proses pembuatannya, penulis dapat bekerja sama dengan baik dengan berbagai pihak, seperti ilustator dan editor. Atau, ketika seseorang memutuskan untuk menjadi dokter, ia akan menjunjung tinggi sumpah profesinya. Menjalankan tugas dengan bermoral, mengutamakan kesehatan pasien, serta membaktikan diri pada kemanusiaan.
Mustahil? Tidak. Asal ada kemauan, pasti bisa.
Posting Komentar
Posting Komentar