Image: worldbreastfeedingweek.net |
Botol-botol kaca untuk menampung ASIP, blue ice, tas pendingin, dan pompa ASI (bagi ibu yang kesulitan memerah ASI secara manual) adalah perlengkapan wajib yang harus dibawa setiap hari ke tempat kerja. Bahkan ada pula ibu yang membawa termos es yang kebetulan sudah dimiliki sejak dulu agar tidak perlu menambah pengeluaran untuk membeli tas pendingin. Singkat kata, bawaan ibu menyusui yang bekerja, otomatis bertambah.
Selain bawaan yang bertambah, para ibu menyusui harus menghadapi beberapa tantangan berikut:
1. Di mana saya bisa memerah?
2. Di mana saya bisa menyimpan blue ice dan ASIP?
3. Kapan saja saya harus pergi memerah? Apakah saya boleh meninggalkan rapat?
Saat ini, ada rekan kerja saya yang baru kembali masuk kerja. Saya pernah bertemu dengannya di toilet. Saya terheran-heran mendengar perkataannya bahwa ia hendak memerah ASI! Betapa mengerikan! Toilet yang ditujukan untuk membuang hajat dijadikan tempat untuk memerah makanan bergizi bagi bayi yang masih rentan terkena penyakit!
Dengan lirih, rekan saya itu memberi alasan, "Habis enggak ada tempat lain."
Sebelumnya, dia berada di ruang perpustakaan. Namun, karena ada orang yang hendak masuk, dia jadi tidak enak sendiri. Terpaksa dia berhenti memerah dan melanjutkkan kegiatannya di toilet.
"Coba cari ruang yang tidak terpakai," saya berusaha memberi solusi karena saya berpendirian bahwa toilet harus dihapus dari daftar alternatif tempat memerah.
Menyedihkan, bukan? Ketiadaan ruangan untuk memerah adalah bukti pengabaian terhadap hak karyawan wanita yang sedang menyusui. Memerah ASI tidak pernah jadi wacana (penting). Perusahaan tidak pernah berpikir bahwa jika ASI yang sudah terkontaminasi dengan kuman atau virus, diberikan kepada bayi, bayi akan jatuh sakit. Dan jika bayi jatuh sakit, sang ibu jadi tidak bisa masuk kerja atau sulit berkonsentrasi saat bekerja.
Saya sendiri termasuk ibu menyusui yang beruntung. Saya tidak mengalami banyak kesulitan. Kebetulan, kala itu saya tidak sendirian. Kedua teman saya juga sedang menyusui. Kami memerah di ruang rapat atau di ruang kecil yang digunakan jadi mushola.
Ketika kami pindah ruangan, kami sempat mengalami kesulitan mencari tempat memerah. Tidak ada sudut yang bisa disulap. Kemudian, kami dikabari bahwa perusahaan menyediakan ruangan khusus. Namun, ternyata ruangan itu tidak layak dijadikan ruangan memerah. Kurang terawat karena sering digunakan untuk ruang merokok. Ketidaknyamanan itu jelas mempengaruhi kondisi psikis saya saat memerah. Otomatis ASIP yang saya peroleh juga tidak maksimal karena saya stres. Kedua teman saya sependapat.
Dalam situasi terjepit, kami bertiga memutar otak. Alam berpihak kepada kami bertiga. Kami mendapat ide untuk menyulap celah kecil di belakang filing cabinet sang sekretaris menjadi ruang memerah. Atasnya yang terbuka, kami beri kertas cokelat lebar yang biasa dijadikan pembungkus paket.
Berbeda dari rekan saya yang saya sebut di atas, saya tidak harus mondar-mandir ke ruangan orang untuk menitipkan ASIP. Unit saya punya lemari es sehingga begitu saya selesai memerah, saya bisa langsung menyimpannya di sana. Begitu pula dengan blue ice.
Pun ketika saya harus ikut rapat-rapat, atasan saya (kebetulan wanita juga) tidak pernah merasa keberatan kalau saya bisa tiba-tiba menghilang karena harus memerah (Dulu, saya disarankan untuk memerah 2-3 jam sekali untuk menstimulasi produksi ASI. Payudara harus dikosongkan secara berkala, agar terisi kembali. Jika payudara dibiarkan penuh, produksi ASi otomatis melambat).
Saya sendiri juga punya kebiasaan permisi jika harus memerah. Saya tidak berkata, "Boleh saya memerah dulu?" melainkan, "Saya izin memerah dulu, ya."
Mungkin bagi sebagian orang, ucapan saya terkesan arogan. Namun, saya tidak bermaksud sama sekali untuk menjadi sombong. Saya hanya menekankan bahwa memerah ASI agar anak saya bisa memperoleh ASI ekslusif adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar.
Di tengah lingkungan yang tidak ramah terhadap gerakan menyusui (khususnya di banyak perusahaan), kita para wanita pekerja yang sedang menyusui-lah yang harus terlebih dulu menunjukkan kesungguhan kita. Jadi, tunggu apa lagi? Mari menyusui anak kita!
Posting Komentar
Posting Komentar