Jakarta Kebanjiran Air
dan Sampah
Belum
lekang dari ingatan kita peristiwa banjir besar yang membuat ibukota Indonesia lumpuh
selama beberapa hari. Saluran-saluran air tidak mampu menampung debit air hujan
lantaran tersumbat sampah. Kini, banjir kembali melanda melanda beberapa
wilayah di ibukota. Penyebabnya masih sama.
Kita juga tahu,
sampah adalah sumber penyakit. Tikus, kecoa, lalat, adalah tiga binatang yang
suka mendiami tempat-tempat yang kotor dan penuh sampah. Dan ketiga binatang
itu sangat mudah menyebarkan penyakit kepada manusia seperti leptospirosis
dan diare.
Sampah memang jadi salah satu masalah besar yang dihadapi kota Jakarta. Wakil
gubernur DKI, Bapak Basuki, diberitakan pusing memikirkan sampah di Jakarta. Bagaimana
tidak, sampah DKI Jakarta per hari rata-rata mencapai 6.500
ton. 53% berasal dari rumah tangga, sedangkan 47% persen berasal dari industri.
Di
sebuah berita dikabarkan bahwa warga meminta pemprov DKI untuk segera
menanggulangi sampah. Menurut saya, masalah sampah adalah tanggung jawab
pemprov DKI dan warga Jakarta. Mengapa
bisa ada begitu banyak sampah? Mengapa sampah bisa memenuhi got, kali, sungai,
dan bahkan laut? Jawabannya tak lain adalah karena sikap warga kota yang
teledor dan tak mau tahu. Warga kota, baik rumah tangga maupun industri menghasilkan
banyak sampah dalam aktivitas sehari-hari. Dan sampah tersebut dibuang di
sembarang tempat.
Yuk,
Lakukan 3R: Reduce, Reuse, dan Recycle
Bagaimana
cara kita menanggulangi persoalan sampah di ibukota? Pertama, tentu saja dengan
mengurangi sampah. Rasanya nama program 3R
tidak asing lagi di telinga kita. Reduce,
Reuse, dan Recycle. Mengurangi sampah, menggunakan kembali barang-barang yang
ada, serta mendaur ulang.
Kita
bisa melakukan banyak hal untuk mengurangi produksi sampah dalam keseharian
kita. Bagi kita yang sudah bekerja, apakah kita ingat kebiasaan baik membawa
bekal saat dulu pergi ke sekolah? Atau, ingatkah kita pada masa-masa ketika
orangtua kita membawa kita jalan-jalan sambil membawa bekal dalam tumpukan
rantang dan termos air? Kebiasaan baik tersebut dapat kita terapkan lagi. Ketika
bepergian, entah itu ke kantor, piknik, atau jalan-jalan, kita dapat membawa makanan
dan minuman dalam wadah-wadah yang bisa digunakan berulang kali. Begitu pula saat
kita hendak membeli makanan dari luar. Bawalah wadah stainless steel dari rumah. Selain ramah lingkungan karena dapat
digunakan berulang kali, tentu lebih aman bagi kesehatan. Higienitasnya lebih
terjamin dibanding plastik, kertas, atau styrofoam.
Jika
selama ini kita membawa pulang belanjaan dalam plastik, yuk, kita beralih ke
tas, storage case, atau kardus pak
bekas yang disediakan di toko. Saya sendiri berusaha mengurangi onggokan
plastik di rumah dengan cara tersebut. Semua belanjaan, kecuali ikan atau
daging, selalu dimasukkan ke dalam kardus. Dan ketika saya membeli benda kering
yang berukuran kecil serta berjumlah sedikit, saya memilih memasukkan belanjaan
saya ke dalam tas.
Saat
menggoreng makanan, saya memilih menggunakan serbet sebagai alas untuk meniriskan
minyak daripada tisu dapur. Jika sudah selesai dipakai, serbet tinggal dicuci
bersih dan dikeringkan untuk digunakan kembali di lain waktu.
Pakaian
dan sepatu bekas yang layak pakai saya sumbangkan kepada yang membutuhkan, sedangkan
pakaian yang sudah compang-camping saya jadikan
kain lap atau pel.
Bagaimana
dengan tumpukan koran atau majalah yang telah selesai dibaca? Suatu hari, saya
pernah menerima hadiah dari seorang teman. Hadiah berbungkus kertas koran! Aksi
teman itu kini saya ikuti. Semua paket yang saya kirimkan kepada teman-teman
saya, saya bungkus dengan koran.
Beberapa
kardus pak bekas yang saya dapat dari supermarket, saya berdayakan menjadi
panggung boneka mini dan tempat menyimpan mainan anak. Kotak sepatu yang sudah
tak terpakai lagi, saya sulap jadi tempat tidur untuk boneka kertas anak saya.
Anda
punya setumpuk kertas bekas ketikan makalah atau presentasi di kantor atau
buku-buku tulis bekas pelajaran sekolah yang salah satu sisinya masih kosong?
Jika tidak ada rahasia yang tertera di sana, manfaatkan lagi sebagai kertas
coret-coretan atau kertas print untuk
draft.
Apa
yang saya lakukan hanyalah sebagian kecil dari program 3R. Dan saya akui, saya
belum mahir melakukan aksi recycle.
Oleh sebab itu, saya selalu mengagumi orang yang mampu mendaur ulang
barang-barang yang sudah tak terpakai dan bahkan dapat menciptakan peluang
usaha dari daur ulang sampah.
Seperti
yang kita ketahui, situasi ekonomi dan sosial saat ini sangat memprihatinkan
akibat kenaikan biaya hidup yang drastis seiring kenaikan harga BBM. PEMDA
DKI Jakarta dapat mengalokasikan dana untuk membiayai berbagai pelatihan
keterampilan mendaur ulang sampah bagi masyarakat yang belum memiliki pekerjaan.
PEMDA DKI Jakarta dapat memberdayakan mereka yang sukses menjalankan bisnis
mendaur ulang sebagai fasilitator atau instruktur pelatihan-pelatihan tersebut.
Dengan begitu, PEMDA DKI dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi warganya
sekaligus mengurai masalah pengelolaan sampah. Pembekalan pengetahuan dan keterampilan
pasti memberikan manfaat jangka panjang ketimbang pembagian bantuan langsung
sementara masyarakat (BLSM).
Yuk,
Buang Sampah di Tempatnya
Cara
kedua menanggulangi persoalan sampah di ibukota adalah dengan membuang sampah
di tempatnya. Di mana? Ya di tempat sampah. Sayang sekali, fakta yang kita
temui di Jakarta adalah sebaliknya. Membuang sampah sembarangan adalah tindakan
yang lazim kita saksikan. Anda pernah melihat tisu atau tiket jalan tol terbang
melayang dari balik jendela sebuah mobil bermerek di jalan tol? Anda pernah
melihat seseorang berpenampilan rapi dan menarik membuang plastik kemasan
majalah ke bawah tempat duduknya di dalam bus? Saya pernah.
Bus
terkotor yang pernah saya tumpangi adalah bus nonAC nomor 157. Kali pertama
naik kendaraan tersebut, saya shock.
Bagaimana tidak? Saya harus duduk satu jam dengan onggokan sampah di kaki.
Tisu, botol minum, dan plastik bekas makanan.
Perilaku
membuang sampah sembarangan di kota Jakarta memang sangat memprihatinkan. Semua
lapisan masyarakat, miskin atau kaya, berpendidikan rendah atau berpendidikan
tinggi, maupun orang “kantoran” atau pengangguran, melakukan hal yang sama.
Lalu,
bagaimana cara menanggulangi masalah ketidakdisiplinan tersebut? Menurut saya,
hal pertama yang harus dilakukan adalah memperbanyak tempat sampah karena pada
kenyataannya, tempat sampah tidak tersedia di banyak tempat. PEMDA DKI harus
menyediakan lebih banyak tempat sampah di pinggir-pinggir jalan, taman-taman,
stasiun-stasiun, terminal-terminal, pelabuhan-pelabuhan, dan tempat-tempat umum
lainnya, yang ramai pengunjung.
PEMDA
DKI juga harus bersinergi dengan para pejabat di lingkungan RT, kecamatan,
sampai kelurahan. Ada pemukiman, khususnya pemukiman kumuh, yang memang tidak
memiliki fasilitas pembuangan sampah. Warga hanya mengandalkan jasa petugas
sampah yang datang secara berkala untuk mengambil sampah. Akibatnya, jika
petugas tidak datang, sampah akan menumpuk. Warga yang kebauan akan mengambil
jalan cepat: membuang sampah ke dalam kali atau got terdekat. Tiap pemukiman,
entah itu kumuh atau elit, seyogianya harus memiliki tempat pembuangan sampah.
Namun, jika tidak memungkinkan, harus ada regulasi yang mengatur persoalan tenaga
kerja pengangkut sampah. Khusus untuk perumahan kumuh, PEMDA DKI dapat
memberikan subsidi kesejahteraan bagai para petugas pengangkut sampah agar
mereka termotivasi untuk melakukan tugas lebih rajin.
Masih
bekerja sama dengan para pejabat di lingkungan RT, kecamatan, sampai kelurahan,
PEMDA DKI dapat memberlakukan jadwal membersihkan lingkungan di wilayah
wewenangnya masing-masing secara berkesinambungan.
PEMDA
DKI juga dapat bekerja sama dengan berbagai pihak untuk lebih gencar dan
mengadakan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kampanye membuang sampah di
tempatnya, seperti yang sedang dilakukan bersama Teach For Indonesia. Lakukan
kampanye di berbagai tempat, seperti pemukiman, sekolah, rumah ibadah,
terminal, pelabuhan, stasiun, kantor-kantor, baik swasta maupun pemerintah,
pasar, dan lain sebagainya. Semakin banyak yang dijangkau, semakin baik.
Adakan
pula berbagai lomba yang berkaitan dengan kebersihan. Jika meraih predikat
“bersih”, dapat hadiah. Jika meraih predikat “kotor”, dikenai sanksi. Misalnya,
mendonasi pembuatan sejumlah tempat sampah di tempat lain. Bahkan, kalau perlu,
berlakukan regulasi kebersihan. Barangsiapa membuang sampah sembarangan,
dikenai denda.
Sudah
saatnya kita “bangun dari tidur lelap” kita. Yuk, kita sama-sama membenahi Jakarta
agar jadi kota yang bersih.
Posting Komentar
Posting Komentar