Sumber: toonclips.com |
Cinta lawan jenis. Cinta anak. Cinta suami atau istri. Cinta keluarga. Cinta pekerjaan. Kita sudah biasa mendengar nama-nama cinta itu. Apa pula cinta uang?
Kenaikan harga BBM dan inflasi membuat
biaya hidup makin mahal. Jangankan kebutuhan tertier atau sekunder,
kebutuhan premier, seperti makanan, pun belum tentu tercukupi. Tak
heran, orang mencari-cari uang demi membiayai kebutuhannya.
Bermacam-macam caranya.
Naiklah bus atau metromini, maka Anda
akan melihat peminta-minta dan pengamen datang silih berganti, tak
henti-henti. Macam-macam rupa mereka. Ada yang perorangan, ada yang
berkelompok. Beragam pula gaya mereka. Ada
peminta-minta yang bertutur halus. Namun, jangan kaget jika ada juga
yang meminta dengan bentakan-bentakan kasar, “Kami tidak butuh
kesombongan Anda.”
Atau, “Kami hanya perlu seribu, dua ribu rupiah untuk sebungkus nasi dan sebatang rokok.”
Atau, dengan wejangan sarkastis, “Coba bayangkan kalau Anda di posisi kami.”
Begitu pula dengan pengamen. Ada yang
hanya bermodalkan tangan dan suara cempreng. Beberapa bermodalkan suara
merdu dan alat musik, seperti gitar dan drum. Belakangan ini saya
menjumpai pengamen yang hanya bertepuk tangan karena tuna wicara. Dan
yang terkini, pengamen tuna wicara yang membawa gitar, namun tidak tahu
sama sekali memainkan gitarnya.
Kita pasti sering membaca atau melihat
berita tentang tindak kriminal seperti pencurian, penjambretan,
penodongan, perdagangan orang, dll. Kebanyakan dilatarbelakangi oleh
kebutuhan mendapatkan uang. Pendidikan mereka rendah. Tak ada lapangan
pekerjaan untuk mereka. Ekonomi mereka lemah. Para pelaku tidak tahu
harus bagaimana lagi agar bisa mendapatkan sesuap nasi. Mereka kepepet
sehingga gelap mata dan buntu pikiran.
Namun, pada kenyataannya, kejahatan tidak hanya dilakukan oleh mereka yang berpendidikan rendah dan berstatus ekonomi lemah.
Kita ambil contoh para wakil rakyat.
Mereka yang bersumpah akan mengamankan aset bangsa dan negara demi kemakmuran
rakyat justru mengamankan kekayaan negara demi kepentingan diri sendiri.
Mengapa? Karena cinta uang. Penghasilan 10 juta per bulan tidak cukup.
Dua puluh juta? Mana cukup. Tiga puluh juta? Ah, itu sih bukan uang. Maka,
terjadilah korupsi demi memperkaya diri. Uang mengalir deras ke dalam
rekening pribadi. Bisa beli barang-barang mewah dan bermerek. Wisata ke
luar negeri sesuka hati. Dan, tentu saja, para lelaki hidung belang yang
berkantong tebal bisa gonta-ganti pasangan. Tak heran, ada yang bilang,
ujian bagi para lelaki adalah harta, tahta, dan wanita.
Tentu bukan hanya wakil-wakil kita di
dunia politik yang tergelincir karena cinta uang. Banyak pula para
pemuka agama yang seharusnya menjadi wakil Sang Khalik membimbing
umat agar hidup benar, jatuh cinta kepada uang, lupa akan tugas yang hakiki.
Berkhotbah dengan memasang tarif yang tinggi. Hanya bersedia mengunjungi
umat yang bisa memberi amplop tebal. Jemaat yang miskin, tak masuk
hitungannya. Umat yang ekonominya biasa-biasa saja, boro-boro ia mau
sapa. Namanya pun tak ia tahu. Setali dengan kondisi negara ini, program untuk kesejahteraan bersama ditelantarkan. Yang didengung-dengungkan hanyalah program mencari dana agar gajinya lancar dibayarkan alias memfokuskan diri pada kesejahteraan pribadi. Dalam pandangannya, persekutuan umat berubah wujud menjadi ladang bisnis. Orientasi panggilan untuk menumbuhkan iman umat melalui kegiatan-kegiatan bermakna berubah menjadi menggalang dana untuk mengisi kantong pribadi.
Anda pernah pergi berobat kepada dokter
yang tak acuh dan tak sabar mendengarkan keluhan sakit Anda? Tidak ada
tatapan muka yang berempati dan sebagai gantinya, raut wajahnya justru
menunjukkan ketidaksabaran saat mendengar Anda berbicara. Mengapa?
Karena ia ingin buru-buru menuliskan resep obat yang panjang agar Anda segera
keluar dari ruang praktiknya dan pasien berikutnya bisa masuk. Dengan
begitu, waktu jam praktik yang terbatas bisa dieksploitasi untuk
menerima pasien sebanyak-banyaknya. Makin banyak pasien, makin banyak
obat yang diresepkan (walau dokter tahu, fungsi kandungan obat yang
berbeda-beda itu sama saja atau bahkan sebetulnya tidak atau belum
diperlukan), makin banyak pula uang yang masuk ke rekening sang dokter.
Ada pula perusahaan atau institusi yang menahan-nahan
hak para pegawainya. Meskipun karyawan telah menunjukkan dedikasi kerja dan integritas tinggi, inflasi menggila, gaji
karyawan tak kunjung dinaikkan. Fasilitas biaya pengobatan ditiadakan.
Tujuannya hanya satu: menghemat pengeluaran agar kas tetap terjaga. Tak ada nilai kemanusiaan.
Pedagang yang menjual barang dagangannya
dengan harga tinggi, namun kualitas barangnya tidak sebanding dengan
harga yang ia kenakan.
Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.
Semoga, kita, Anda dan saya, beroleh
kekuatan dari-Nya, untuk terhindar dari godaan menjadi orang yang cinta
uang. Karena cinta uang dahsyat jeratnya. Apa yang tidak halal menjadi
halal. Merugikan orang lain, menindas orang lain, menipu orang lain demi
mendapatkan banyak uang untuk kesejahteraan pribadi.
Posting Komentar
Posting Komentar