Pengumuman di atas baru saya lihat tadi pagi. Judulnya, "Tata Tertib Penumpang di Transjakarta" (Saya sengaja memotret sebagian saja, yang penting menurut saya). Perhatikan aturan teratas di foto tersebut. Apakah menurut Anda, kalimat itu wajar-wajar saja?
Bagaimana dengan stiker tentang
penumpang prioritas berikut ini, apakah menurut Anda, biasa-biasa saja?
Penumpang Prioritas di Transjakarta/Dok. Pribadi |
Bagi saya, jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah tidak. Menurut saya, kedua aturan tersebut tidak dapat diterima. Siapa saja yang
menjadi prioritas dalam aturan tersebut? Manula, ibu hamil, dan difabel. Pertanyaan saya, di manakah tempat anak-anak? Anak-anak yang sulit dipangku
karena timbangan badannya sudah cukup berat, tetapi badannya tidak cukup tinggi
untuk meraih tali-tali pegangan yang bergelantungan pada besi di atas.
Anak-anak SD yang sudah bisa pergi ke sekolah sendiri, tetapi akan menghadapi
masalah serupa dengan anak-anak batita dan balita. Manusia tidak ujuk-ujuk
jadi dewasa, bukan? Jadi bayi dulu, baru batita, balita, remaja, muda, dewasa,
dan kemudian lansia. Semua orang dewasa pernah jadi anak-anak, termasuk pembuat
aturan di atas. Namun, mengapa kita tiba-tiba melupakan anak-anak?
Pertanyaan berikutnya. Apakah menurut
pembuat aturan ini, anak-anak di atas tidak bakal naik Transjakarta? Jika
demikian adanya, dugaan si pembuat aturan ini salah besar. Saya pernah membawa
anak saya dua kali naik Transjakarta. Dia masih TK. Dan apa yang terjadi? Dia
harus memeluk paha saya karena tidak ada yang mau memberinya duduk, sementara
untuk berdiri, tangannya belum dapat meraih pegangan di atas kepalanya.
Saya juga pernah se-bus Transjakarta
dengan seorang anak SD. Tubuhnya kecil. Anak itu berdiri di samping saya dengan
berpegangan pada besi di sampingnya karena dia tidak cukup tinggi untuk bisa
berpegangan ke atas. Tidak ada yang mau memberinya tempat duduk. Baru ketika
penumpang di depan saya berdiri, saya menyilakan dia duduk di tempat duduk yang
tadinya jadi hak saya. Dan kemudian, dia tertidur pulas (karena
kelelahan berdiri, karena harus bangun pagi agar dapat kendaraan) sampai
akhirnya harus dibangunkan di halte Trisakti, tempat dia harus turun.
Saya juga pernah melihat seorang
anak yang harus memeluk pinggang kakeknya di tengah padatnya penumpang bus
Transjakarta. Namun, kali itu, saya tidak bisa menolong anak itu karena saya
pun berdiri dan penumpang di depan saya, tidak kunjung turun. Contoh-contoh
kasus di atas membuktikan bahwa anak-anak juga naik Transjakarta.
Selain faktor fisik, ada faktor
keamanan yang juga harus diperhatikan. Jika penumpang dewasa saja harus ekstra
berjaga-jaga dan memasang kuda-kuda saat berdiri agar tidak terpelanting ke
kanan dan ke kiri akibat laju Transjakarta, apalagi anak-anak. Terlebih, tidak
ada tempat sandaran pada jok-jok tempat duduk yang biasa kita temui di bus-bus
pada umumnya.
Anehnya lagi, ada aturan, "Anak-anak
dengan tinggi badan 100 cm ke atas, diwajibkan membeli tiket." Ini
berarti, penumpang anak-anak yang sudah mencapai tinggi tersebut, wajib
membayar penuh. Namun, pada praktiknya, anak-anak tidak mendapat hak penuh
layaknya penumpang dewasa lainnya dan tidak mendapat hak prioritas layaknya
penumpang dewasa yang tercantum pada aturan-aturan di atas. Karena dianggap
bertubuh masih kecil, harus dipangku. Atau kalau tidak dipangku dan tidak dapat
tempat duduk, ya, pasrah saja berdiri.
Menurut saya, aturan dan stiker
mengenai penumpang prioritas harus segera direvisi. Pertama karena anak-anak
juga bagian dari masyarakat. Tidak sepatutnya pemerintah menjadikan mereka
warga kelas dua. Anak-anak tidak boleh didiskriminasi.
Alasan kedua, pengakuan terhadap hak
anak-anak harus dilegalkan sehingga ketika ada orang dewasa yang tidak bersedia
mendahulukan anak-anak untuk mendapat antrean dan tempat duduk, orangtua atau
petugas busway dapat bertindak tegas. Bukan rahasia umum, kalau banyak
penumpang (berpura-pura) tidur atau tidak bersedia memberikan tempat duduknya
secara sukarela. Mereka baru mau berdiri jika petugas busway memberi mandat.
Hal-hal besar dimulai dari hal-hal
kecil. Indonesia akan jadi bangsa dan negara yang bebas dikriminasi jika
perlakuan diskriminatif dalam kehidupan sehari-hari bisa dihilangkan, termasuk
dalam berkendara dengan Transjakarta.
Posting Komentar
Posting Komentar