Suatu Sabtu, saya membongkar koleksi film yang belum ditonton dan saya menemukan film yang berjudul La Rafle. Saya tidak tahu apa arti La Rafle karena
film itu buatan Prancis. Dan kebetulan, DVD yang saya miliki itu, DVD bajakan. Alhasil, teks
terjemahannya amburadul, baik itu bahasa Inggris maupun Indonesia.
Dengan segala keterbatasan itu, saya mulai menonton La Rafle.
Bersetting di Prancis, La Raffle
menceritakan tentang penduduk Prancis yang mengalami perlakuan
diskriminatif dari orang sebangsa mereka sendiri dan bangsa lain yang
sedang berkuasa atas mereka, yaitu Jerman (Nazi). Alasannya hanya satu.
Karena mereka bersuku bangsa Yahudi.
Wajib
memakai tanda bintang di dada dan memperlihatkan identitas itu dengan
jelas (tidak boleh ditutup-tutupi) dan tidak boleh memasuki
tempat-tempat umum sesuka hati adalah dua contoh perlakuan diskriminatif
yang mereka alami.
Suatu
hari, pada tengah malam, ribuan tentara menyerbu pemukiman mereka.
Mereka dipaksa meninggalkan kediaman mereka dan dikumpulkan di sebuah
stadion olahraga.
Setelah
saya bertanya kepada Mbak Wikipedia (memangnya mbah-mbah aja yang
pintar? Mbak-mbak juga banyak yang pintar :D), saya jadi tahu, judul
film ini berasal dari nama peristiwa tersebut: Rafle du Vélodrome d’Hiver, atau sering disebut the Rafle du Vel’ d’Hiv, yang terjadi pada tanggal 16 dan 17 Juli 1942. Mengapa peristiwa itu disebut Velodrome d’Hiver? Karena ke stadion bernama itulah, orang-orang Yahudi Prancis dibawa dan dikumpulkan.
Masih
menurut Mbak Wiki, kepolisian Prancis mencatat, ada 13.152 orang Yahudi
yang ditahan di stadion tersebut. Bayangkan, orang sebanyak itu
dikumpulkan jadi satu. Mereka dibiarkan kehausan dan kelaparan. Tidur
pun tidak bisa berbaring; hanya duduk tanpa alas. Tak heran, banyak yang
jatuh sakit, khususnya anak-anak. Dari situ, penderitaan mereka terus
berlangsung sampai akhirnya mereka dipindahkan ke tempat yang lebih
tidak manusiawi dan harus menghadapi kematian rancangan Nazi.
La Rafle
adalah film yang berbicara tentang sejarah umat manusia dan
kemanusiaan. Manusia diciptakan dari cinta sang Khalik. Namun,
prasangka, arogansi, ambisi, dan nafsu-nafsu duniawi lainnya, merusak
hati dan pikiran manusia. Manusia berubah menjadi sosok-sosok kejam,
yang bahkan lebih liar dan buas daripada binatang buas.
Hitler
adalah satu dari sosok tersebut. Dia beranggapan, ras Aria-lah yang
paling hebat dari segala ras yang ada di muka bumi. Oleh sebab itu,
Jerman (melalui Nazi) harus berekspansi ke penjuru dunia agar bisa
mendominasi.
Hitler
juga penganut antisemitisme, paham yang mengusung kebencian terhadap
segala sesuatu yang berkaitan dengan Yahudi. Baginya, Yahudi adalah ras
inferior. Yahudi adalah ancaman terhadap kemurnian ras Aria. Maka,
Hitler bersama antek-anteknya menyusun strategi menyingkirkan suku
bangsa Yahudi dari negara Jerman dan negara-negara yang berhasil mereka
duduki.
La Rafle adalah salah satu film yang mengangkat sejarah kelam umat manusia akibat prasangka buruk (prejudice), kebencian (hatred), dan kekuasaan (power).
Apa yang dialami suku bangsa Yahudi di masa Perang Dunia ke-2 adalah
nyata, senyata peristiwa-peristiwa penganiayaan dan pembunuhan massal
lainnya yang pernah dan sedang terjadi di berbagai tempat di dunia.
Indonesia pun punya sejarah kelamnya sendiri, di antaranya pembunuhan
massal terhadap pengikut PKI dan orang-orang yang dianggap terlibat
dengan PKI di tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998 yang memakan banyak
korban, khususnya etnis Tionghoa.
Namun, La Rafle juga
ingin menunjukkan bahwa kemanusiaan itu belum mati karena masih ada
cinta dan belas kasih yang tersisa. Di antara manusia-manusia keji,
masih ada manusia-manusia berhati mulia. Cinta itu ditampilkan dalam tokoh perawat yang bukan Yahudi.
Diceritakan,
tanpa kenal lelah, sang perawat mengurus tahanan anak-anak Yahudi
dengan penuh kasih sayang, mulai dari stadion sampai kamp tahanan.
Suatu hari, ketika perawat itu jatuh sakit, ia masih berusaha sekuat
tenaga mengejar anak-anak yang tanpa sepengetahuannya akan dibawa ke
tempat terakhir mereka, tempat ajal akan menjemput.
Setelah
PD II berakhir dengan kekalahan Jerman, sang perawat berada di tempat
penampungan orang Yahudi eks tahanan Nazi yang dinding-dindingnya
dipenuhi kertas bertuliskan nama-nama korban. Di tempat itu, dia
mengenali dua orang anak Yahudi yang berhasil selamat dari kekejaman
Nazi. Sang perawat memeluk erat dan mencucurkan air mata sebagai
ungkapan kebahagiaannya karena masih ada anak-anak asuhnya yang selamat.
Film
Prancis produksi tahun 2010 ini terinspirasi oleh kisah nyata Jo
Weisman, seorang anak Yahudi yang berhasil selamat dari kekejaman
Hitler. Disutradarai oleh Roselyne Bosch, film ini diperankan oleh
beberapa bintang film Prancis yang terkenal seperti Jean Reno, Melanie
Laurent, Sylvie Testud, dan Gad Elmaleh. Tidak hanya itu, Jo Weisman
yang telah lanjut usia, turut bermain dalam film ini.
Film ini patut ditonton untuk dijadikan pengingat: “Love and compassions are necessities, not luxuries. Without them humanity cannot survive.” (Dalai Lama)
Posting Komentar
Posting Komentar