Perawan.
Kata itu sungguh dahsyat. Sebuah kata yang dalam tatanan sosial
masyarakat, melambangkan status “kehormatan” perempuan, sekaligus
menjadi momok bagi banyak perempuan yang mengidam-idamkan pernikahan.
Kata yang menjadi salah satu kriteria tidak tertulis, yang ditetapkan
oleh banyak laki-laki terhadap calon istri.
Ketika
ada isu tes keperawanan terhadap siswi sekolah, dokter ahli Andrologi
dan Seksologi, Wimpie Pangkahila, mengatakan bahwa definisi ‘perawan’
perlu disepakati dulu. Apakah dinilai dari pernah/belum pernah melakukan
hubungan seksual atau selaput dara sudah robek/belum? Menurut Dokter
Pangkahila, pembedaan itu perlu karena hubungan seksual yang berdasarkan
kemauan sendiri (seks bebas/seks pranikah), menyangkut perilaku
sedangkan selaput dara robek juga bisa disebabkan faktor di luar seks
bebas, seperti masturbasi, terjatuh karena olah raga atau korban
pemerkosaan.
Menurut berita, banyak remaja putri Surabaya diberitakan menjalani operasi balik perawan (vaginoplasty) berbiaya 30 juta. Alamak!
Kebanyakan dari mereka beralasan, keperawanan mereka telah direnggut
oleh mantan pacar. Mereka mengkhawatirkan nasib pernikahan mereka kelak.
Padahal di kalangan spesialis ginekologi rekonstruksi, vaginoplasty
dilaksanakan berdasarkan alasan medis. Pertama, untuk menghilangkan
keluhan, kelainan, mengembalikan fungsi dan yang terakhir, aspek
kosmetik.
Jika
keperawanan dalam pernikahan itu sangat penting, mengapa banyak remaja
putri melakukan seks bebas atau seks pranikah? Selain bertentangan
dengan aturan agama, dari sisi mana pun, pihak perempuan tidak akan
pernah diuntungkan jika melakukan seks bebas atau seks pranikah karena
pada faktanya, banyak perempuan ditinggalkan kekasihnya setelah hubungan
seksual pranikah terjadi. Kenikmatan sesaat membawa azab sengsara yang
berkepanjangan.
Fenomena
operasi balik perawan muncul, menurut saya juga disebabkan karena
tatanan masyarakat kita masih didominasi pengaruh laki-laki dan
sempitnya pola pikir. Banyak laki-laki yang menilai keperawanan dari
noda darah di seprai saat malam pertama. Akibatnya, banyak perempuan
menikah yang ketakutan menghadapi malam pertamanya. Mereka yang sudah
pernah melakukan hubungan seksual pranikah, takut ketahuan tidak perawan
lagi. Mereka yang belum pernah melakukan hubungan seksual pun memiliki
kekhawatiran dianggap tidak perawan lagi. Padahal, elastisitas selaput
dara berbeda-beda. Ada yang mudah robek, ada yang elastis.
Jika
laki-laki menuntut calon istrinya perawan (belum melakukan hubungan
seks pranikah), apakah laki-laki juga bersedia menjamin bahwa dirinya
masih perjaka? Karena keperjakaan tidak bisa diukur dengan tes apa pun,
kecuali pengakuan sang laki-laki. Dalam hal ini diperlukan komunikasi
yang terbuka di antara sepasang kekasih sebelum melanjutkan hubungan ke
jenjang pernikahan. Laki-laki dan perempuan harus sama-sama jujur kepada
pasangan dan diri sendiri, apakah sanggup memiliki cinta dan kerendahan
hati seluas samudra untuk menerima pasangan yang tidak perawan/perjaka
lagi.
Jadi, hai Ladies and Girls,
hadapi masa lalumu dengan tegar! Daripada menghabiskan uang 30 juta
untuk alasan-alasan nonmedis seperti menciptakan kebohongan atau
menyenangkan hati laki-laki yang tidak bisa menerima diri perempuan apa
adanya, mending uang itu kamu pakai untuk mengikuti kursus-kursus
keterampilan atau berwisata ke tempat-tempat cihui di Indonesia atau
luar negeri. Jauh lebih seru dan keren!
Posting Komentar
Posting Komentar