Memasak di malam hari setelah
pulang kerja, tidaklah mudah bagi saya. Tubuh lelah setelah seharian berkutat
dengan pekerjaan kantor dan menghadapi kemacetan lalu lintas yang luar biasa
dalam perjalanan pulang. Ditambah harus memenuhi permintaan anak untuk bermain
bersama setelah terpisah selama tiga belas jam.
Alasan terakhir seringkali
membuat saya memindahkan jadwal kegiatan memasak ke pagi hari, keesokan harinya.
Namun, aktivitas di pagi hari itu sudah pasti akan membuat saya sport jantung karena harus berpacu
dengan waktu. Sudah tahu, kan, di ibukota negara RI, terlambat berangkat kerja 5
menit saja akan menimbulkan rentetan masalah. Jalanan lebih macet. Harus
menunggu Transjakarta lebih lama—meski sudah ada sterilisasi jalur
Transjakarta, masih banyak lho pengendara pribadi yang nekat masuk jalur khusus
tersebut. Waktu tempuh lebih lama. Ujung-ujungnya, tiba di kantor, wajah sudah
kusut, rambut semrawut, baju lusuh, dan tubuh berpeluh.
Kemarin pagi, saya bertekad
untuk masak di malam hari agar esok paginya bisa nyantai. Menu masakan: kwetiau goreng. Maka, pulang kerja, saya
duduk-duduk sebentar sambil ngobrol dengan anak saya yang masih kelas TK B
tentang kegiatannya di sekolah sambil menunggu suami mengerjakan tugasnya: mengupas
bawang putih dan bawang merah, mencuci sosis dan sawi serta merebus air.
“Mami masak dulu, ya,” kata
saya setelah mandi dan suami menyelesaikan tugasnya.
“Enggak boleh. Besok saja,” cegah anak saya.
“Harus sekarang, Sayang.”
Ia mulai merengek.
“Kamu ikutan masak aja,
yuk!” saya memberinya pilihan sambil berjalan menuju dapur.
Ia mengekor.
“Aku potong-potong, ya?” ia
menawarkan diri saat melihat bawang putih dan bawang merah.
“Nanti mata kamu kepedasan.”
Sebagai gantinya, saya mengajaknya memasukkan kwetiau kering ke dalam air yang
telah mendidih. “Hati-hati, airnya panas, lho,” saya mengingatkan.
Setelah kwetiau lunak dan
ditiriskan, saya membagi tugas kepada anak saya, “Kamu tuangkan kecap ke
kwetiau. Yang rata, ya.”
Sementara saya mengiris
bahan-bahan pelengkap kwetiau, anak saya sibuk menuang kecap dan mengaduk-aduk
kwetiau. Tentu saja, ayahnya turut membantu karena kwetiau yang dimasak cukup
banyak.
Setelah itu, saya memintanya
mengambil telur dari dalam lemari es dan mengocok telur dengan garpu.
“Aku ambil kursi dulu, ya.
Aku pengen ngeliat,” kata anak saya.
Kemudian, ia menyeret sebuah kursi plastik ke depan kompor.
Setelah minyak di dalam
wajan panas, saya menuang racikan pelengkap kwetiau ke dalam wajan.
“Aku saja yang kocok,”
protes anak saya saat saya mengocok lagi telur sebelum telur dituang. Ia baru
tenang ketika diberi kesempatan mengocok lagi.
Setelah itu, bahan-bahan
pelengkap dituang bergiliran dan saya meminta anak saya mengaduk-aduk
kwetiau.
“Kalau ngaduk, sendok
kayunya menghadap ke bawah, bukan ke atas supaya telur dan sosinya tidak
terlempar ke luar wajan,” saran saya. Sesekali saya turun tangan
untuk membantu. Misalnya, ketika kwetiau rebus yang bergumpal masuk ke dalam
wajan dan membubuhi masakan dengan garam.
“Hati-hati, jangan terlalu
banyak. Nanti pedas, lho,” saya mengingatkan saat ia membubuhkan lada putih ke
atas masakan.
Kemudian, saya memintanya untuk mencicipi masakan kami. Dengan antusias, ia mengambil kwetiau dengan garpu. Saking antusias, ia tidak sabar saat harus menghembus-hembus kwetiaunya terlebih dulu agar cepat dingin.
Akhirnya, kwetiau goreng
buatan kami jadi.
“Aku jadi lapar,” celetuk
anak saya. Padahal, ia telah makan malam.
Saya memberinya sepiring
kecil kwetiau.
“Hm, enak, ya,” ia
berkomentar dengan bangga di sela-sela makannya.
Sejak anak saya kelas TK
Besar, saya sering mengajaknya memasak untuk mengisi waktu luang kami. Zuppa soup, kue kering, cupcake, kwetiau goreng, serta bihun
goreng adalah beberapa masakan yang telah kami coba masak bersama-sama.
Selain membuat hubungan kami
lebih akrab, kami juga jadi belajar berkomunikasi yang baik saat memasak
bersama. Misalnya, ketika anak saya bersikeras ingin mengolah masakan dengan
caranya sendiri, saya harus tahu cara merespons dengan cara yang mudah ia
mengerti untuk menyelamatkan masakan kami.
Menurut ahli
pendidikan, anak juga dapat belajar banyak hal dari kegiatan memasak. Mengenal
jenis-jenis bahan makanan, mengukur takaran, mengenal macam-macam bentuk dan
rasa, serta melatih kesabaran saat memotong, mencetak, dan menunggu masakan jadi.
Dan yang tak kalah penting, anak jadi belajar untuk berusaha sebelum memetik
hasil serta bangga terhadap dirinya sendiri karena mampu berkreasi.
Posting Komentar
Posting Komentar