Sumber: catholicvote.org |
Tahun lalu, masyarakat digemparkan dengan berita tentang H,
seorang wanita cantik yang tewas di sebuah apartemen. Saya termasuk orang yang
tertarik menyimak berita tersebut.
Dari hasil penyidikan pihak berwajib, wanita
itu dibunuh oleh seorang pria, yang kemudian terjun bebas dari kamar si wanita
karena takut tertangkap. Pria itu adalah salah satu dari sekelompok orang yang
ditugaskan untuk membunuh wanita malang itu. Pemberi perintah tak lain dan tak
bukan adalah G, suami H sendiri.
Apa yang menyebabkan G sampai hati melakukan hal itu? G gerah
menghadapi tuntutan H. Sudah minta apartemen, mobil, dikasih, eh, minta rumah
dan hak memiliki H sendiri. Dengan kata lain, G diminta menceraikan istri pertamanya.
Kita lompat sejenak ke hal lain, yang membuat saya jadi makin
merenungkan kasus di atas. Tak lama setelah peristiwa di atas terjadi, saya membeli
buku. Judulnya “Pengakuan Eks Parasit Lajang” karangan Ayu Utami, yang menurut saya perempuan langka. Langka karena dia berani terang-terangan
melawan nilai-nilai yang biasa berlaku di tengah masyarakat: perempuan adalah
makhluk kelas dua. Perempuan seyogianya menikah. Jika tidak, dicibirkan
masyarakat, dan tentu sistem patriarkat (dalam agama dan adat), yang melegalkan
dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan.
Dalam buku “PEPL”, tokoh A, sang tokoh utama cerita, mengakui
bahwa dia kerap terlibat dalam hubungan terlarang dengan pria beristri. Tetapi,
dia berprinsip, dia cukup hanya menjadi pencuri waktu. Dia tidak berniat
dinikahi. A juga dikecam dengan sebutan perempuan sundal oleh ayahnya ketika
ayahnya pertama kali tahu, dia sudah tidur dengan kekasihnya.
Sekarang kita satukan kasus H dengan pengalaman A. H dan A
sama-sama jatuh cinta pada pria beristri, tetapi H masuk dalam lembaga
pernikahan, meskipun siri (legal secara agama) sifatnya. Sedangkan A tidak
ingin melegalkan sesuatu yang tidak legal.
Keduanya sama-sama menginginkan
cinta dan birahi, tetapi A, dalam pandangan saya, tidak tamak. Seperti A
bilang, dia menginginkan keadilan. Jika dia menuntut perkawinan dari
kekasihnya, berarti dia menyebabkan ketidakadilan bagi istri kekasihnya.
Sebaliknya, H sangat tamak. Tidak puas memperoleh harta benda, dia ingin
memiliki G, suami curiannya, sendirian. Keputusan yang membawanya kepada
malapetaka karena G adalah seorang lelaki pengecut yang terlalu takut
menyelesaikan penyelewengannya secara jantan (kejantanan tidak harus selalu
dikaitkan dengan urusan seks, bukan?). Dia bahkan sampai harus meminjam tangan
orang lain untuk menghabisi nyawa gula-gulanya yang telah ia “naikkan
statusnya” menjadi istri siri.
Dan inilah hasil perenungan saya: 1a.
Jangan harap laki-laki menghargai dirimu, wahai perempuan, jikalah engkau
sendiri tidak menghargai dirimu sendiri. Engkau sama berharganya dengan
laki-laki. Jadi, jika ada laki-laki yang memberi tawaran hendak menaikkan
“harga dirimu” menjadi istri siri, tolaklah. Karena jika engkau mengiyakan, itu
sama saja engkau mengakui dogma bahwa dirimu adalah makhluk kelas dua.
1b.
Dengan mengiyakan ajakan pria beristri untuk menikah siri, engkau juga
merancang status anak haram bagi anakmu yang akan terlahir kelak. Negara tidak
pernah mengakui anak-anak yang terlahir dari pernikahan siri. Tentu engkau
tidak ingin melihat anakmu dicemooh oleh teman-teman dan masyarakat sebagai
anak haram, kan?
1.c
Tentu engkau juga tidak ingin, ketika suatu hari nanti suamimu sudah bosan
melihatmu dan menemukan perempuan yang lebih menarik, ia turut lari dari
tanggung jawab menafkahi anak kalian dan ujung-ujungnya engkau hanya bisa gigit
jari karena pengadilan tidak mengakui anak kalian adalah hasil pernikahanmu
dengan laki-laki itu, kan?
1d.
Maka, ketika engkau jatuh cinta kepada pria beristri atau pria yang mengaku
lajang padahal sudah beristri, dan pria itu menawarkan pernikahan siri
kepadamu, gunakan akal sehatmu dan berpikirlah cerdas.
2.
Menikah atau tidak menikah adalah pilihan. Tidak ada keharusan bagi keduanya.
Tidak juga ada jaminan, yang satu bisa membawa kebahagiaan lebih besar daripada yang
lain. Yang penting, kita menjalani pilihan tersebut dengan bertanggung jawab.
3.
Jika perempuan berbuat seks di luar nikah atau dengan pria yang bukan pasangan
sahnya disebut perempuan sundal, maka laki-laki beristri atau lajang yang suka
mencari tantangan atau kesenangan dengan perempuan-perempuan juga patut disebut
laki-laki sundal. Pepatah luar mengatakan, “It takes two to tango.”
4.
Laki-laki yang memperlakukan perempuan sebagai obyek sesungguhnya adalah
laki-laki betina karena dia terlalu takut, dominasinya terhadap perempuan
hilang.
5.
Wahai lelaki, jikalau engkau berani berpoligami, beranilah menanggung segala
konsekuensinya, termasuk segala rengekan dan permintaan pasangan poligamimu,
mulai dari yang wajar, akal-akalan, sampai yang tidak masuk akal. Bukankah
engkau sendiri yang memutuskan mengajaknya menjadi partner in crime-mu
dalam berpoligami.
6.
Pernikahan siri sering dimanfaatkan untuk melegalkan pemuasan nafsu birahi.
Perlu bukti? Bertemu dengan seorang wanita yang muda dan menarik. Ingin
berhubungan seks tetapi takut larangan berzinah, maka bersepakat menikah siri.
(Ingat sesumbar, “Daripada berbuat zinah”?) Istri dianggap tidak perawan
pada malam pertama, sang suami dengan mudahnya menceraikan (lewat SMS!),
padahal dapat dipastikan, sebelum ia menikah dengan istri itu, status
perjakanya sudah kadaluwarsa (Ingat kasus seorang bupati?).
7.
Jika engkau berani menuntut pasangan yang masih perawan, wahai lelaki, beranikah
engkau menjamin, engkau masih perjaka?
Tulisan ini saya muat kali
pertama di kompasiana.com bulan Oktober tahun lalu. Saya memutuskan untuk
menayangkannya juga di blog pribadi saya. Oleh sebab itu, saya melakukan
beberapa perubahan di sana-sini.
Posting Komentar
Posting Komentar