Image: earthsavergirl.com |
Akhirnya bus itu datang juga. Bergegas aku
masuk. Sayang, semua bangku terisi. Kucengkram sabuk tangan yang
menggelantung di atas dan memasang kuda-kuda, mengikuti lenggak-lenggok
si Transjakarta.
Di depanku, duduk seorang pria. Kulitnya putih bersih. Di sana-sini, uban mencuat di antara rambutnya yang hitam. Kacamatanya bening. Ia mengenakan kemeja tangan panjang, putih bergaris-garis. Di pangkuannya tergeletak sebuah tas hitam. Tapi, bukan itu yang bikin aku penasaran sama dia.
Ia menggenggam sebuah mentimun. Kres, ia menggigit buah yang dianggap manjur menurunkan tekanan darah tersebut. Wow, pria yang sangat peduli dengan kesehatan. Saat kebanyakan orang sarapan nasi uduk, ketupat sayur dengan gorengan, atau mi instan rebus, ia memilih makan buah.
Pagi itu nasib baik berpihak kepadaku. Seorang penumpang pria memberiku tempat duduknya. Sejenak aku melupakan pria necis dan higienis itu dan larut dalam bacaanku Anak Rembulan karya Djokolelono.
Aku berhenti membaca ketika bus berhenti dan penumpang berganti. Aku menoleh ke sebelah kiri, ke arah pria itu. Ia sedang menyantap sebutir apel. Apel itu nyaris ludes. Ah, ia sedang menerapkan tips sehat an apple a day keeps the doctor away. Keren!
Kekagumanku makin bertambah ketika ia memasukkan sampah apelnya ke dalam plastik. Sempurna! Necis, higienis dan sadar kebersihan lingkungan.
Tapi, tunggu, apa yang ia lakukan? Perlahan dan sembunyi-sembunyi, ia mengulurkan tangan yang menggenggam plastik itu ke bawah kursinya.
O, tidak! Ia sama seperti banyak penumpang yang selama ini kulihat membuang sampah semau gue.
Seorang perempuan kantoran yang mengelap kotoran dari kaki mulusnya dengan tisu lalu membuang tisu ke lantai bus.
Seorang pelajar yang tanpa rasa bersalah membuang plastik minumannya ke jalan raya lewat jendela setelah minumannya ludes.
Seorang perempuan berhijab yang berbuka puasa dengan tiga keping biskuit dan dengan santai meletakkan ketiga bungkusnya ke kolong tempat duduk.
Dan tentu saja masih banyak lagi yang lainnya.
Jika diteruskan, daftar ini makin panjang, dari hari ke hari. Bukti ketidakpedulian warga Jakarta terhadap kebersihan tempat tinggalnya sendiri. Bukti ketidakpedulian warga Jakarta bahwa ia harus bertanggung jawab terhadap sampah yang ia hasilkan sendiri sampai ia menemukan tempat sampah.
Ia tak seperti yang kukira.
Di depanku, duduk seorang pria. Kulitnya putih bersih. Di sana-sini, uban mencuat di antara rambutnya yang hitam. Kacamatanya bening. Ia mengenakan kemeja tangan panjang, putih bergaris-garis. Di pangkuannya tergeletak sebuah tas hitam. Tapi, bukan itu yang bikin aku penasaran sama dia.
Ia menggenggam sebuah mentimun. Kres, ia menggigit buah yang dianggap manjur menurunkan tekanan darah tersebut. Wow, pria yang sangat peduli dengan kesehatan. Saat kebanyakan orang sarapan nasi uduk, ketupat sayur dengan gorengan, atau mi instan rebus, ia memilih makan buah.
Pagi itu nasib baik berpihak kepadaku. Seorang penumpang pria memberiku tempat duduknya. Sejenak aku melupakan pria necis dan higienis itu dan larut dalam bacaanku Anak Rembulan karya Djokolelono.
Aku berhenti membaca ketika bus berhenti dan penumpang berganti. Aku menoleh ke sebelah kiri, ke arah pria itu. Ia sedang menyantap sebutir apel. Apel itu nyaris ludes. Ah, ia sedang menerapkan tips sehat an apple a day keeps the doctor away. Keren!
Kekagumanku makin bertambah ketika ia memasukkan sampah apelnya ke dalam plastik. Sempurna! Necis, higienis dan sadar kebersihan lingkungan.
Tapi, tunggu, apa yang ia lakukan? Perlahan dan sembunyi-sembunyi, ia mengulurkan tangan yang menggenggam plastik itu ke bawah kursinya.
O, tidak! Ia sama seperti banyak penumpang yang selama ini kulihat membuang sampah semau gue.
Seorang perempuan kantoran yang mengelap kotoran dari kaki mulusnya dengan tisu lalu membuang tisu ke lantai bus.
Seorang pelajar yang tanpa rasa bersalah membuang plastik minumannya ke jalan raya lewat jendela setelah minumannya ludes.
Seorang perempuan berhijab yang berbuka puasa dengan tiga keping biskuit dan dengan santai meletakkan ketiga bungkusnya ke kolong tempat duduk.
Dan tentu saja masih banyak lagi yang lainnya.
Jika diteruskan, daftar ini makin panjang, dari hari ke hari. Bukti ketidakpedulian warga Jakarta terhadap kebersihan tempat tinggalnya sendiri. Bukti ketidakpedulian warga Jakarta bahwa ia harus bertanggung jawab terhadap sampah yang ia hasilkan sendiri sampai ia menemukan tempat sampah.
Ia tak seperti yang kukira.
Posting Komentar
Posting Komentar