“Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga”, begitulah bunyi
tema Natal 2014. Tema tersebut ditetapkan bersama oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja
Indonesia (PGI) dan Keuskupan Agung
Jakarta (KAJ). Dasar ayat Alkitabnya adalah Imamat 26:12, “Tetapi Aku akan hadir di tengah-tengahmu dan Aku akan menjadi Allahmu
dan kamu akan menjadi umat-Ku.”
Tema tersebut mengajak gereja dan
orangtua mengevaluasi keterlibatan mereka dalam mempersiapkan generasi
mendatang.
Natal
yang Ditunggu-tunggu
Contoh
yang ter-gres adalah perayaan Natal
itu sendiri. Perayaan Natal adalah hari yang paling ditunggu adik-adik Sekolah
Minggu. Mengapa? Satu, tentu saja karena pada hari itu mereka mendapat hadiah
setelah setahun mengikuti kelas Sekolah Minggu.
Kedua,
karena pada hari itu kemungkinan besar mereka akan mengenakan baju baru. Yang
perempuan berdandan layaknya putri raja dalam dongeng. Yang laki-laki memakai
jas dan dasi.
Ketiga,
karena pada hari itu, mereka akan tampil di panggung. Mengucapkan hafalan ayat
liturgi. Menari. Menyanyi. Main musik atau main drama. Pada hari itu, mereka
merasa deg-deg-an campur bangga.
Bagaimana tidak? Ibu dan ayah, kakek dan nenek, tante, dan anggota keluarga
lainnya datang untuk menyaksikan.
Bersikap Adil
Di
tahap awal, persiapan mata acara jadi momen yang cukup ruwet. Para kakak Sekolah Minggu biasanya harus siap diprotes oleh
orangtua. Ada orangtua yang menggunakan cara halus. Ada pula yang
terang-terangan.
Seorang
teman bercerita di suatu pagi, “Kemarin, ada lho orangtua murid kami yang
marah-marah karena anaknya tidak diikutkan dalam acara menari. Kami sampai dilaporkan
ke pendeta. Dan pendeta juga ikut memarahi kami karena yang marah-marah adalah
istri penatua.” Hehehehe …
Para
kakak Sekolah Minggu berusaha sebisa mungkin bersikap adil. Semua adik diberi
peran. Tentu saja, peran disesuaikan dengan usia mereka. Misalnya, anak yang tahun
lalu belum ikut main angklung, tahun ini ikut karena sudah bisa pegang dan
membunyikan alat musik bambu tersebut.
Bahkan,
not-not yang tidak pernah diciptakan penggubahnya, ditambahkan—tentu bukan
not-not yang bikin lagu hancur. Tujuannya, supaya semua anak yang sudah bisa
main, terlibat.
Yuk, Kita Latihan
Oke. Semua anak sudah dapat peran. Sekarang,
mari kita latihan. Masa latihan adalah fase kedua yang terberat. Selesai
kebaktian, masih harus latihan. Latihan pada hari Minggu saja, tidak cukup. Ada
kalanya, beberapa anak absen. Selain itu, frekuensi latihan harus
ditambah agar kualitas meningkat. Maka, disepakatilah, latihan
hari Sabtu sore.
Nah,
latihan di hari inilah yang sering jadi batu sandungan bagi anak-anak. Sakit
tentu tidak masuk hitungan. Tidak ada yang suka sakit. Yang saya maksud di
sini, ketika anak-anak belum mandiri untuk bisa datang ke tempat latihan.
Ketika anak-anak harus diantar orangtua. Bersediakah orangtua? Pentingkah acara latihan anak-anak
dibandingkan acara lainnya?
Penting atau Tidak Penting?
Suatu
kali, saya sakit. Maka, saya menitipkan anak saya kepada ua dan neneknya. Saya
wanti-wanti, sore ada latihan Natal. Kebetulan, adik dan keponakan saya dari
negeri jauh, liburan ke Indonesia. Maka, keluarga besar saya jalan-jalan hari
itu.
Latihan
Natal tentu akan memotong waktu untuk berjalan-jalan. Ditambah lagi, sore itu hujan
deras. Maka, ibu saya bercerita, “Sudah pun tujuh orang membujuk anakmu untuk
tidak usah latihan, anakmu tetap ngotot minta diantar latihan.”
Berkat
kegigihan anak saya, ia bisa latihan. Diantar serombongan besar keluarganya. Good girl. Thank you, my big family for
taking my daughter to church.
Fakta
membuktikan, banyak orangtua/orang dewasa yang tidak menganggap latihan anak-anak
mereka penting. Mereka enggan memberi tahu kakak Sekolah Minggu jika anak berhalangan
hadir. Bahkan, mereka tidak menjawab saat di-SMS.
Dampak
jarang latihan tentu bisa ditebak. Anak yang sering tidak latihan, tidak menguasai
peran. Tidak hanya itu saja. Latihan kegiatan yang melibatkan banyak pemain,
jadi amburadul. Yang tinggal hanyalah
bingung, bingung dan bingung.
Tanggung Jawab Pribadi terhadap
Keberhasilan Tim
Orangtua
mengabaikan pembelajaran tanggung jawab pribadi terhadap keberhasilan tim.
Orangtua mengajarkan kepada anak egoisme: kepentingan pribadiku lebih penting
daripada kepentingan tim. Tidak peduli anak-anak lain beserta orangtua mereka sudah
berjerih payah untuk datang. Dan tentu saja juga mengabaikan jerih payah
kakak-kakak guru Sekolah Minggu.
Fase
berikutnya adalah hari H, saat pementasan. Biasanya, nih, kakak-kakak Sekolah
Minggu, sudah wanti-wanti supaya adik-adik bisa datang lebih cepat supaya bisa
tampil dengan tenang dan percaya diri. Tapi, apa mau dikata. Mereka tidak bisa
datang sendiri. Mereka tergantung pada orangtua.
Dampaknya
kayak domino. Orangtua terlambat, anak ikut terlambat. Anak-anak jadi gugup.
Acara
pun jadi terlambat dimulai. Anak-anak yang tidak sehat, jadi pulang larut
malam. Begitu pula para undangan yang datang dari jauh. Contoh lain keengganan
menghormati orang lain.
Beratnya Jadi Orangtua
Itu
baru kegiatan yang berhubungan dengan Natal. Bagaimana dengan kegiatan Sekolah
Minggu lainnya? Oh, betapa beratnya tugas
orangtua! Ya, memang. Saking beratnya, enggak
ada institusi khusus atau sekolah untuk bikin pasangan suami istri terampil
jadi orangtua. Tapi, Allah bilang, Ia hadir dalam keluarga. Kayaknya, sekarang
tinggal kita, mau apa bertemu dengan-Nya atau tidak. Dimulai dengan dukungan
kita terhadap kegiatan anak-anak di Sekolah Minggu.
Posting Komentar
Posting Komentar