Image: javacompile |
Minggu lalu saya dan keluarga ke toko buku Gramedia. Saya mau memenuhi janji kepada anak untuk membelikannya buku. Pada waktu bersamaan, lagi ada promo diskon 30% untuk buku-buku terbitan penerbit terbesar di Indonesia itu. Meskipun demikian, saya hanya punya budget Rp 200.000. Soalnya, saya sudah kadung beli buku via toko buku online. Hiks ... sedih.
Sesuai perjanjian, anak saya memilih 1 buku. Daaan, saya tergiur ketika melihat kembali buku yang pernah saya ingin beli, tapi gak jadi karena istri teman yang biasa memberi saya diskon 30% melahirkan. *Diskon 30% berharga sekali, lho!
Akhirnya, setelah menimbang-nimbang pentingnya buku itu untuk anak saya nanti, saya memutuskan untuk membeli buku itu juga. Cerita Peribahasa karya salah satu penulis Indonesia yang saya kagumi, Mbak Dian Kristiani. Saya pikir, nanti anak saya akan mendapat pelajaran peribahasa. Melalui cerita, tentu ia akan lebih mudah memahami makna peribahasa-peribahasa Indonesia.
Begitulah, rencana awal mencukupkan diri dengan 1 buku. Tapi, terus jadi 2 buku. Tahu-tahu, radar di mata saya menemukan sinyal tumpukan buku menggiurkan. Hmmm, buku dalam kemasan kotak berbentuk tas. Di dalamnya ada 5 buku.
Tapi, ini yang bikin saya ngiler. Buku tersebut dibuat ala petualangan lima sekawan dulu. Di buku itu, kita bisa membaca cerita dengan alur suka-suka alias tidak berurutan. Saya tergoda untuk membeli buku tersebut. Tapi, setelah saya kalkulasi, waaah, uang Rp200.000 enggak cukup. Dengan berat hati saya mengucapkan 'bye, bye' kepada buku itu.
Peristiwa itu membuat saya merenung. Mengapa banyak penerbit besar saat ini suka sekali menerbitkan buku-buku yang tebal, yang tentu saja mengakibatkan harga jual ikut tinggi? Siapa saja yang mereka bidik untuk jadi target pembaca utama? Apakah konsumen yang berbudget pas-pasan atau rendah berada di urutan terakhir?
Buku terakhir yang tadinya ingin saya beli, misalnya, bisa dijual satuan agar tidak memberatkan konsumen. Tapi, setelah saya tanyakan kepada penulisnya, buku itu memang dijual per paket. Tidak ada yang versi satuan. Saya saja yang masih bisa beli buku–syukur kepada sang Khalik–meski enggak sekaligus banyak, sedih tidak bisa beli buku yang diinginkan. Apalagi yang tidak sanggup membeli buku.
Dengan membaca (buku), wawasan kita makin luas, pengetahuan kita bertambah. Tetapi, ketika buku, apalagi buku untuk anak-anak, jadi barang mahal, bagaimana bisa generasi muda Indonesia bisa maju? Karena faktanya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Dan, perpustakaan masih sangat sedikit. Buku jadi barang tertier.
Jika kondisi tersebut dibiarkan terus, buku akan makin jauh dari jangkauan anak-anak (masyarakat golongan ekonomi menengah dan bawah). Alhasil, kemiskinan pengetahuan akan tetap menjadi sahabat karib banyak orang.
Semakin mahal buku, semakin tak terjangkau bagi banyak orang untuk membelinya. Apa jadinya ya kalau banyak anak tak bisa baca buku.
BalasHapusIya, sedih ....
HapusSolusinya perpustakaan umum di setiap kecamatan harus ada kalau menurut saya :)
BalasHapusMalah, kalau bisa di tiap kelurahan ada, Mbak. Tinggal ada tidak yang mau mendanai ;)
Hapus