Tahu, kan, pepatah, “Don’t judge a book by its cover”? Bisa berarti konotatif 'jangan berprasangka, ah'. Bisa juga bermakna konotatif, 'kalau menilai buku, jangan cuma dari kavernya. Liat juga isinya.'
Nah, di tulisan kali ini, saya
mau bilang, “Don’t judge the book by its
size.” Yang dimaksud the book adalah pasport atau paspor. Itu lho, buku kecil, yang kalau di Indonesia, sampulnya
berwarna hijau dan bergambar burung garuda. Di sisi dalam sampul belakang
tertera data diri sang pemilik paspor. Ada juga keterangan resmi bahwa yang
bersangkutan adalah warga dari negara yang mengeluarkan paspor.
Yep,
meski kecil, paspor sangatlah berharga jika dikaitkan dengan perjalanan ke luar
negeri. Jadi, kudu dijaga baik-baik.
Kenapa paspor berharga? Ini dia sebabnya:
- Ngurusnya cukup menyita waktu dan biaya *Berdasarkan pengalaman saya, ya. Waktu itu, saya mengurus sendiri secara manual. Dari segi waktu, saya terpaksa cuti dan di kantor imigrasi, antre lamaaa. Eits, jangan salah. Menunggu juga menguras energi, lho.
Kalau
dari segi biaya, selain biaya pembuatan paspornya, tentu saja ada biaya jajan
karena kelaparan saat menunggu panggilan nomor antrean … hihihihi.
- Enggak punya paspor, jangan harap bisa mendapat visa alias izin masuk atau tinggal di negara lain.
- Kalau kita mengalami masalah saat berada di luar negeri, kita akan dirujuk ke kedutaan negara asal kita; kita bisa meminta bantuan ke kedutaan negara kita. Tentu saja, kita harus bisa menunjukkan paspor sebagai tanda pengenal kewarganegaraan. Plus, tanpa paspor, kita susah balik ke tanah air.
Di
film Trade yang bertema human (woman) trafficking, ada adegan
dua orang perempuan Eropa Timur yang sedang menuju ke Amerika untuk bekerja
sebagai nanny/baby sitter. Tiba di bandara tujuan, sang agen biro kerja meminta
mereka menyerahkan paspor. Salah satu dari pencari kerja itu tampak ragu saat
menyerahkan paspornya. Keraguannya terbukti berujung pada hal buruk. Mereka disandera
untuk kemudian dijual.
Para
penculik tahu persis, tanpa paspor, kedua sandera mereka otomatis menjadi dua
manusia tanpa identitas: tiada nama, tiada alamat domisili, tiada keterangan kewarganegaraan.
- “Album” koleksi stempel negara
Paspor
bisa jadi album stempel negara-negara yang pernah kita kunjungi.
O, iya, saya juga pernah
punya pengalaman berkaitan dengan paspor. Kejadiannya sih sudah lama.
Suatu kali, saya bepergian ke
kota lain di Jerman. Kala itu, saya naik kereta. Kondektur kereta datang mengecek
tiket kereta tiap penumpang.
Selesai mengecek tiket saya,
sang kondektur meminta saya menunjukkan paspor. Deg. Astaga, paspor saya tinggal di rumah! Selain takut kehilangan paspor, saya belum ngeh kalau paspor bukan sekadar dokumen yang
akan diperiksa di bandara atau perbatasan negara.
Dengan suara pelan saya
menjawab, “Ich habe ihn nicht dabei.”
Saya enggak bawa.
“Zu Hause?” Di rumah?
Saya mengangguk.
Pria paruh baya itu duduk di
hadapan saya dan menatap saya lama, menyelidik.
Mungkin karena kasihan
melihat sinar mata saya yang memelas, ABG berwajah polos … hahaha
… akhirnya, ia bangkit dan berpesan agar lain kali saya selalu membawa serta paspor.
Kembali ke rumah, saya langsung
menceritakan pengalaman itu kepada host
parents.
Mereka minta maaf karena
lupa memberi tahu bahwa saya harus selalu membawa paspor kalau bepergian.
Tuh,
kaaan.
Kalo sy bkn cuma paspor mba, ijazah dan dokumen2 penting lainnya kudu di jaga, rempong kl sdh ilang :D
BalasHapusTentu, Mbak Dewi. Saya juga begitu. Ini konteksnya kalau bepergian ke luar negeri :)
HapusTerima kasih sudah mampir.
“Album” koleksi stempel negara
BalasHapusha ha ha
kalo yang itu udah semacam acara wajib di kantor saya
tapiiii, saya sendiri baru punya satu cap, itu pula baru di negara tetangga (singapura)
tahun lalu udah bikin visa mau liputan ke 3 negara eropa (spanyol, portugal, & italia), tapi batal di detik2 terakhir
alhasil, hingga kini cuma satu cap doang di paspor...
Iya mba ngurusnya lama.
BalasHapusMakasih ya sudah diingatkan :)