“Aku mau naik kereta,” pinta
putri saya suatu hari. “Masa aku hanya sekali naik kereta?”
Ya, ia benar. Ia memang baru
naik kereta sekali, sekitar dua setengah tahun yang lalu. Aduh, malu jadinya.
Otak saya mulai bekerja keras. Dia mau naik naik kereta. Berarti harus ke arah kota.
Akhirnya, saya katakan kepada putri saya bahwa kami akan naik kereta dari Stasiun Kota ke Bogor.
Sabtu itu pun tiba. Hati
sempat ragu ketika langit tampak kelabu. Tuhan,
beri kami cuaca yang baik, ya supaya kami bisa pergi, pinta saya dalam
hati.
Tuhan bersedia mengabulkan.
Setelah selesai beres-beres, saya dan putri saya siap berangkat.
“Petualangan dimulai,” kata
saya kepada anak saya yang telah lengkap dengan peralatannya. Botol minum dan
sebuah pulpen bertali yang menggantung di leher, topi di kepala serta sebuah
buku kecil yang tipis di tangan. Bak seorang kuli tinta!
Di tepi jalan, kami naik
mikrolet berwarna biru muda. Karena jalanan sepi, pak sopir mengemudikan
kendaraannya bak raja jalanan.
Alhasil, anak saya terdiam sepanjang perjalanan. Untunglah anak saya tidak
muntah akibat ulah pak sopir.
Setelah turun dari mikrolet, ia masih kuat
berjalan kaki menuju halte busway Transjakarta.
Kapan, ya, Transjakarta membaik? / Sumber foto: m.republika.co.id |
Untuk sampai ke Kota, kami harus naik
Transjakarta dua kali. Mula-mula ke halte Harmoni, lalu lanjut ke halte Kota.
Saat naik Transjakarta menuju Harmoni, seorang perempuan muda berhijab langsung
memberikan tempat duduknya.
“Terima kasih, Mbak,” ucap
saya penuh syukur. Sebagai pengguna setia Transjakarta, saya tahu kondisi angkutan
massal ini. Transjakarta tidak ramah anak-anak. Tali-tali tempat berpegangan
tingginya melebih tinggi anak-anak.
Petugas penjaga pintu busway pun kerap mengabaikan
penumpang anak-anak. Pada hari itu, ada penumpang lain yang membawa anak sebaya
anak saya. Petugas pintu tidak meminta penumpang dewasa untuk memberi tempat
duduk kepada penumpang cilik itu. Bahkan, ketika anak itu jongkok sambil
berpegangan pada tiang di dekat pintu, ia tidak ambil pusing. Duh, bikin hati kesal campur sedih.
Perjalanan menuju halte Kota
lancar karena armada jurusan Blok M-Kota memang paling banyak dibandingkan
jurusan lainnya. Waktu menunggu jadi pendek. Antrean juga cepat habis. Dalam
waktu singkat, kami tiba di Kota.
Saya pengguna setia kereta
waktu zaman kuliah. Makanya, saya kagum banget
waktu tiba di Stasiun Kota. Perkeretaan mengalami banyak perubahan!
Yeay, naik kereta! / Foto: Dokumen pribadi |
“Dulu, penumpang kereta pakai tiket kertas,” saya bercerita. Setelah menempelkan e-ticket seharga sepuluh ribu rupiah pada
mesin, kami bisa masuk ke peron.
Tarif kereta sebenarnya lima
ribu rupiah. Sisanya adalah jaminan agar kartu tidak hilang atau rusak. Jika kartu
dikembalikan di loket, penumpang mendapatkan kembali lima ribu rupiah.
Dulu, pemakai topi harus
bersiap-siap kehilangan topinya karena dicopet orang lewat jendela saat kereta
berangkat. Sekarang, dijamin aman karena semua jendela tertutup rapat.
Dulu, kalau kereta masih
baru jalan, penumpang yang ingin cepat-cepat, bisa melompat masuk. Sekarang,
jangan coba-coba. Badan bisa terjepit di pintu otomatis!
“Kita ada di gerbong
perempuan,” kata saya setelah kami berada di dalam kereta. Ya, sekarang
perempuan bisa lebih tenang bepergian karena tersedia gerbong khusus. Letaknya di
ujung depan dan belakang rangkaian.
“Kok ada laki-laki?” tanya anak saya.
Laki-laki yang ia maksud adalah dua anak laki-laki sebayanya yang duduk di
seberangnya.
“O, kalau masih anak-anak
boleh. Kan harus ditemani mamanya. Kalau orang besar, enggak boleh.”
Dalam perjalanan, anak saya
lama-lama bosan. “Kita masih lama sampai?” tanyanya berulangkali. Maklum, ia
harus duduk terus di dalam kereta selama satu jam. Tidak boleh nyanyi
keras-keras, baring atau berselonjor seperti kalau bepergian dengan mobil
pribadi.
Akhirnya, kami tiba di
Stasiun Bogor. Rencana A berubah jadi rencana B. Enggak jadi langsung balik ke Jakarta. Cari makan siang dulu, lalu
lanjut ke Kebun Raya Bogor. Jauh-jauh ke Bogor, gitu lho. Masa hanya numpang duduk di kereta.
Tanya sana, tanya sini, akhirnya kami naik angkot hijau khas
Bogor nomor 02.
Angkot di Bogor / Sumber foto: ipb.ac.id |
Begitulah, rencana naik
kereta membuahkan pengalaman naik empat jenis alat transportasi lainnya. Pasalnya,
pulangnya, setelah turun dari kereta di Stasiun Gondangdia, kami menyempatkan naik
bajaj. Mikrolet, busway, kereta, angkot
colt, dan bajaj dalam sehari!
Angkutan oranye yang makin langka / Sumber foto: commons.wikimedia.org |
wah seneng ya naik kereta, kapan-kapan naik sampai bekasi mbak nanti kita ketemuan :)
BalasHapusIya, Mbak Lidya, belum pernah naik kereta ke Bekasi. Selalu ke arah Bogor karena ada Kebun Raya :))
Hapus