“Mama,
aku juga mau piala!” tangis seorang anak setelah melihat tiga orang temannya mendapat
piala. Hari itu, ia mengikuti perlombaan bercerita di sekolah. Namun, ia gagal
menjadi pemenang.
Tak
tega melihat kesedihan anaknya, pulang dari sekolah, sang ibu membeli piala di
toko dan memberikan piala tersebut kepada si anak.
Cerita
di atas adalah ilustrasi yang saya karang berdasarkan cerita nyata. Dan pasti
masih ada banyak versi cerita lainnya menyangkut reaksi dan aksi anak serta
orang tua menerima kekalahan dalam lomba.
Bersaing Menjadi Pemenang
Kita
semua pasti suka jadi pemenang: juara kelas atau juara lomba. Dengan jadi
pemenang, kita diakui memiliki keunggulan dari peserta lainnya. Apalagi, kalau
saingan kita banyak.
Semua
orang tua pun demikian. Ingin anak berprestasi dan menjuarai lomba yang
diikuti. Bahkan, seringkali, orang tua justru bersikap lebih kompetitif
ketimbang si anak sendiri yang mengikuti lomba. Saya pernah diminta produsen
susu formula jadi anggota tim juri. Lombanya, lomba menggambar untuk anak TK.
Saat penjurian, banyak orang tua yang hilir mudik atau ‘mengutus’ anak mereka
untuk melewati meja juri untuk melihat karya-karya mana yang jadi pilihan
juri.
Pengalaman
kedua, masih lomba menggambar, saya melihat banyak orang tua yang sibuk memberi
komando kepada anak mereka. Bukannya membuat anak berkonsentrasi, mereka justru
membuat anak-anak stres karena harus mendengarkan suara orang tua.
Menerima Kekalahan, Menerima Keunggulan Orang Lain
“Pak, tidak ingin tahu peringkat
anak?” tanya wali kelas anak saya ketika suami saya beranjak dari tempat duduk
selesai menerima rapor kenaikan kelas.
Wali
kelas memberi tahu bahwa anak kami mendapat peringkat 1. Jika kami ingin
pernyataan tertulis dari sekolah, kami diminta menghubungi tata usaha dengan
persetujuan kepala sekolah. Mengapa demikian? Menurut keterangan pihak sekolah,
peringkat kelas memang tidak ditulis karena berdasarkan pengalaman, keterangan
peringkat membuat anak-anak yang peringkatnya rendah, merasa minder.
Mengapa
anak bisa merasa minder? Mungkin
karena orang tua marah ketika melihat peringkat anak. Apalagi kalau anak sudah
ikut les ini dan itu untuk menunjang prestasinya.
Mungkin
juga karena orang tua menasihati dengan cara membandingkan-bandingkan. “Tuh,
lihat si A juara 1. Masa kamu enggak bisa?”
Sikap
orang tua yang demikian membuat anak merasa gagal. Anak merasa tidak dapat
membanggakan hati orang tua. Anak takut, rasa cinta orang tua kepadanya akan
berkurang. Sikap itu sekaligus menunjukkan bahwa orang juga tidak siap menerima
kegagalan anak.
Para
psikolog mengingatkan orang tua untuk tidak hanya mendorong anak untuk mendapat
kemenangan. Orang tua juga wajib menyiapkan anak dan diri sendiri—ini tambahan dari saya mengingat banyak orang tua yang
lebih ambisius ketimbang anak mereka—untuk menerima kekalahan.
Orang
tua wajib melatih diri sendiri dan anak untuk dapat menerima kekalahan secara
positif. Kekalahan membuat anak berusaha memperbaiki kesalahan dan lebih tekun
berusaha serta berlatih.
Orang
tua wajib menolong anak dan diri sendiri menerima fakta bahwa memang ada orang
yang lebih unggul di bidang-bidang tertentu; bahwa anak tidak harus sempurna di
semua bidang.
Dan
yang jauh lebih penting, menanamkan prinsip kepada anak dan diri sendiri bahwa
kalah setelah tekun berusaha dan berlatih berlandaskan kejujuran itulah yang
disebut kemenangan sejati; bukan menang dengan cara-cara yang tidak terpuji.
menanamkan jiwa berjuang dan berbesar hati jika mengalami kekalahan ya mbak.
BalasHapusIya, Mbak. Tersenyum saat menang itu mudah. Tersenyum saat kalah itu susah.
HapusTemennya anakku juga ada yang nangis klao lomba ngga dapet piala, sampe ibunya pinjem piala sekolahan dulu biar ga nangis anaknya hehehe
BalasHapusAnak kecil memang belum ngerti kalau dalam lomba, hanya pemenang yang dapat hadiah. Tugasnya orang tua mengarahkan.
Hapuskekalahan itu (konon) kemenangan yang tertunda
BalasHapustapi, ga semua orang bisa menyikapinya...
saya sendiri sampe sekarang masih ngenes waktu liat juventus kalah di final liga champions (sepak bola)
padahal itu udah lewat tiga bulan
he he he
Iya, apalagi kalau si pemenang orang yang ia gak suka. Makin tambah gak nerima.
BalasHapusHehehe ... cinta itu buta ya, Mas Choirul Huda