Pernah lihat undangan pesta adat pernikahan orang
Batak? Pasti ada halaman yang berjudul Hami Na Manggokhon. Artinya, Kami yang Mengundang.
Halaman tersebut memuat nama orang-orang penting dari pihak ayah dan ibu mempelai.
Suku Batak menganut patriarkat. Makanya, daftar
nama keluarga besar ayah muncul duluan. Baru daftar nama keluarga besar ibu. Daaan,
di daftar nama keluarga besar tersebut, dijamin 100% nama saudara laki-laki
ayah atau ibu disebut duluan daripada nama saudara perempuan.
Urutan menandakan kadar pentingnya si pemilik
nama. Makin awal disebut, makin penting. Jadi, jangan sampai salah urut.
Bisa terjadi pertarungan di dunia persilatan marga. Itu sebabnya, saat membuat
daftar nama ini, orang tua mempelai pasti berkonsultasi dengan “petinggi” dalam
keluarga untuk dapat acc sebelum undangan dicetak.
Perempuan
(Tak) Bernama
Sebelum saya berumah tangga, saya tidak terlalu ngeh
dengan lembar sakral tersebut sampai akhirnya saya menikah dan nama
saya pernah masuk dalam daftar pengundang. Ada diskriminasi gender di
situ.
Contohnya ini.
Urutan teratas dari daftar Hami Na Manggokhon |
Ini nama 3 pasang suami istri. Nama suami wajib
ditaruh di depan. Baru nama istri. Perhatikan, nama para suami disebut lengkap.
Nama para istri? Tidak ada. Tinggal marga. Boru Sibarani, boru Sianturi dan
boru Simbolon. Anak perempuan Bapak Sibarani, Bapak Sianturi dan Bapak
Simbolon.
Yaaa, kan
tidak sopan menyebut nama.
Waduh, justru sangat tidak etis meniadakan nama
orang. Bukankah orang tua ketiga perempuan itu sudah berjerih payah mencari nama
bagi mereka? Nama yang mengandung doa serta harapan sang orang tua. Nama yang
menjadi identitas mereka sejak lahir. Mengapa setelah menikah, mereka menjadi
perempuan tak bernama?
Yang lebih tak masuk akal lagi, bukankah daftar
nama tersebut dibuat oleh orang-orang dekat mereka? Jadi, kemungkinan bahwa pengecek daftar nama
tidak tahu nama mereka, nol besar.
Lihat contoh kedua ini.
Deretan nama anak-anak perempuan dalam keluarga besar |
Nama empat pasang suami istri. Para istri
bersaudara, dari ayah bermarga Hutajulu. Ada yang menikah dengan laki-laki non
Batak. Tiga lagi, masing-masing menikah dengan laki-laki bermarga Pasaribu,
Tambunan, dan Sinaga.
Lagi-lagi nama istri ditiadakan. Alhasil, kesan
yang muncul, yang penting, dia istrinya siapa. Jati dirinya sendiri enggak penting.
Masih bagus, marga para suami tidak sama.
Bagaimana kalau dua orang dari para boru Hutajulu itu menikah dengan laki-laki
bermarga sama (yang bukan saudara sekandung dan tidak punya hubungan darah)?
Misalnya, sama-sama bersuami marga Pasaribu. Bapak A. Pasaribu menikah dengan boru Hutajulu yang kakak-an atau yang adik-an?
Nah, lo.
Begitulah. Manusia dengan segala kebudayaan yang
ia buat, memang sarat kekurangan. Apalagi jika cara pandang pembuat tradisi masih
sarat dominasi terhadap pihak lain.
Tapi, kita tidak lagi hidup di "zaman kegelapan", kan? Yang baik, kita teruskan. Yang buruk, kita tinggalkan atau perbaiki untuk kebaikan.
Tapi, kita tidak lagi hidup di "zaman kegelapan", kan? Yang baik, kita teruskan. Yang buruk, kita tinggalkan atau perbaiki untuk kebaikan.
----
Kami, perempuan Batak, punya nama. Sebutlah nama kami.
pernah mbak, waktu temen suamiku menikah. Dan ternyata di bedakan ya mbak untuk tamu undangan dengan marga(batak) dengan diluar itu. Seru juga baru pertama kali datang ke resepsi orak Batak
BalasHapusBiasanya pesta memang dibedakan, Mbak. Hidangan nasional di atas, hidangan tradisional Batak di bawah. Tujuannya untuk menghormati tamu2 yang tdk bs makan makanan nonhalal.
Hapus