Dalam pelajaran bahasa Indonesia, sebuah kalimat yang belum lengkap, punya banyak kemungkinan jawaban sesuai keinginan penjawab. Contoh, "Ayah memanjat ...." Jawaban bisa pohon, atap, tangga, pundak paman, dsbnya.
Namun, kalau pelajaran matematika, jawaban selalu pasti. 3+3 = 6; 4 x 6 = 24. Itu sebabnya, salah satu kewajiban siswa adalah menghafal perkalian 1 sampai 10.
Pasti, Maka Butuh Konsentrasi
Dan karena sifatnya yang serba pasti, pengerjaan soal-soal matematika membutuhkan konsentrasi tinggi. Bayangkan, apa yang terjadi, jika tanda tambah (+) dibaca jadi tanda kali (x) karena ditulis miring. Bukankah ada saja anak yang sering melakukan hal itu karena menulis dengan terburu-buru? Contohnya, anak saya :)
Asisten Berhitung
Kemarin saya dan anak saya jalan bareng berdua. Saat jam makan siang tiba, kami mampir ke sebuah tempat makan.
Sambil menunggu makanan dibuat, saya berniat menghitung pengeluaran untuk mengisi waktu. Tiba-tiba, saya mendapat ilham untuk menjadikan anak saya asisten berhitung. Alih-alih belajar matematika, ia pasti akan lebih suka diminta membantu ibunya, meskipun ujung-ujungnya ya mengerjakan penambahan juga :D.
Dan taraaa ... inilah hasilnya. Ada angka yang dicoret karena anak saya tidak menuliskan sejajar. Puluh ribuan ditaruh di bawah ratusan ribu.
Tanda tambah paling bawah juga sempat ditulis seperti tanda kali.
"Terima kasih kasih, ya, Dek," ucap saya atas jasanya setelah ia selesai berhitung dan hasil hitungannya benar.
Ia tersenyum. Bangga dan senang karena telah membantu saya.
Saya pun turut senang karena ia telah berlatih mengasah kepedulian serta menghitung.
Jadi asisten ibu kelihatannya menyenangkan. Jadi anak mau belajar berhitung :)
BalasHapusIya, Mbak. Anak kan selalu bangga dan senang jika dimintai bantuan. Merasa seperti pahlawan bagi orangtuanya :)
Hapuscara pembelajaran seperti itu ternyata menyenangkan juga bagi anak ya,
BalasHapusterima kasih sudah mengingatkan
Sama-sama. Pengalaman itu juga seperti pengalaman 'Aha' buat saya :)
Hapus