"Ma, kok matanya sipit? Mata kita
enggak?"
"Pa, kenapa kulitnya hitam? Kulit aku putih."
Indonesia yang beragam suku/
Ilustrasi: dream Indonesia
|
"Kakek,
kita tutup mata kalau berdoa. Kok mereka enggak?"
Indonesia yang beragam agama dan ras/
Ilustrasi: the global review
|
Pernah mendapat
pertanyaan-pertanyaan seperti di atas?
Jangankan anak-anak, kita orang dewasa juga
pasti pernah penasaran, jengah atau bahkan was-was kala bersua dengan seseorang
yang berbeda dari kita, entah itu penampilan fisiknya atau perilakunya.
Kesamaan
vs Keberagaman
Kita cenderung merasa lebih nyaman berada di
antara orang yang punya kesamaan dengan kita, begitu pendapat Sekar
Sostronegoro di awal diskusi “Anak
dan Toleransi”. Tapi, kita harus
menerima perbedaan orang lain. Sebab, kita hidup di era keberagaman, tutur Suzy
Hutomo, chairwoman The Body Shop
Indonesia.
Pendidikan Toleransi Sejak Dini
Toleransi penting dikenalkan sejak dini. Alah
bisa karena biasa. Memberi
anak pemahaman dan pengalaman bertoleransi sejak kecil, sangat penting.
Menurut Najeela Shihab, psikolog, pemerhati
anak, dan praktisi dunia pendidikan, anak adalah observer yang baik,
tetapi very bad interpreter. Oleh sebab itu, orangtua punya peran
penting. Dunia macam apa yang orangtua ingin perlihatkan kepada anak?
Pertama-tama, orangtua harus mendorong anak
memahami dirinya sendiri terlebih dulu bahwa ia adalah pribadi yang unik,
punya potensi, minat dan bakatnya sendiri.
Langkah selanjutnya, orangtua memberi anak
sebanyak mungkin kesempatan untuk berinteraksi dengan beragam orang. Sebisa
mungkin, ajak anak memasuki komunitas yang heterogen. Kalau anak belajar di
sekolah yang warganya homogen, dorong anak untuk berteman dengan anak beragam
latar belakang di lingkungan lainnya. Misalnya, lingkungan tempat tinggal atau
tempat kursus.
Living
The Values
"The biggest way to teach or to learn
tolerance is living the values." Ibu Suzy
berprinsip, keteladanan itu sangat penting. Orangtua harus memberi contoh,
memberi teladan bagaimana berperilaku toleran, menerima perbedaan dalam
kehidupan sehari-hari.
Jadi, sebelum mendidik anak toleransi, orangtua
juga harus memeriksa diri, lho. Jangan-jangan, orangtua sendiri punya
miskonsepsi-miskonsepsi yang harus dilepaskan. Contoh, menyebut orang miskin pemalas.
Padahal, ada juga orang miskin yang rajin.
Kitu, Kucing Kecil Bersuara Ganjil
Senang rasanya bisa hadir di acara diskusi "Anak
dan Toleransi". Dapat ilmu dan dapat buku! Soalnya, diskusi diadakan dalam rangka peluncuran buku Seri
Toleransi yang pertama, Kitu,
Kucing Kecil Bersuara Ganjil, yang ceritanya ditulis oleh Sekar, diilustrasi oleh Mira Tulaar dan
disunting oleh Andien. Sekar berharap, orangtua dapat menggunakan Kitu untuk memulai percakapan tentang
perbedaan dan keberagaman.
Tim kreatif (ki-ka): Mira, Sekar,
Andien/
Foto: Dok. Panitia
|
Bhinneka Tunggal Ika
Diskusi "Anak dan Toleransi" juga mengajak para hadirin menyebarkan semangat menghidupi toleransi,
khususnya di Indonesia. Setuju sekali! Indonesia itu bangsa istimewa yang
multikeberagaman.
Beragam suku, beragam ras, beragam agama. Jika tidak ada toleransi,
tidak akan ada kedamaian, justru perpecahan. Jadi, kalau sang Khalik menciptakan
kita beragam, bukankah sepatutnya kita menerima anugerah itu dengan tangan
terbuka dan hati yang bersyukur?
Pengenalan mengenai toleransi ini kayaknya emang penting banget ya, Mbak, termasuk dengan pengenalan mengenai keberagaman di Indonesia. Melihat kondisi dua tahun terakhir, saya cukup miris dengan isu SARA yang bisa dimanfaatkan untuk memecah belah persatuan. Itu sebabnya, pengenalan toleransi dan keberagaman emang sebaiknya dimulai sejak dini dan di rumah kita masing-masing. Tulisan yang bagus, Mbak. Salam kenal juga ya
BalasHapus